Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai
dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:
Dikala Umar bin Khattab memangku
jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta
Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah, "Hai Khalifah Umar, anda adalah
pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar.
Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat
memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan
agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda
tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad
bukan seorang Nabi.
"Silahkan bertanya tentang apa saja yang
kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.
"Jelaskan kepada kami tentang induk kunci
(gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu,
memulai pertanyaan-pertanyaannya. "Terangkan kepada kami tentang adanya
sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada
kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya,
tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis
makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak
dilahirkan dari kandungan ibu atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang
dikatakan oleh burung puyuh (gemak) disaat ia sedang berkicau! Apakah yang
dikatakan oleh ayam jantan dikala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan
oleh kuda disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak diwaktu
ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai disaat ia sedang
meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang
berkicau?"
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berpikir
sejenak, kemudian berkata, "Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas
pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu
hal yang memalukan!''
Mendengar jawaban
Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri
melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata, "Sekarang kami bersaksi bahwa
Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!"
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit
dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu
sebentar!"
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib.
Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama
Islam!"
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya:
"Mengapa?"
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang
dihadapi oleh Khalifah Umar bin Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju
ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup
punggung atau leher) peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Umar melihat Ali bin
Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil
berkat,: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu
kupanggil!"
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang
sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata, "Silahkan
kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW sudah
mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai
seribu macam cabang ilmu!"
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi
pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata,
"Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku
nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di
dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!"
"Ya baik!" jawab mereka.
"Sekarang tanyakanlah satu demi satu,"
kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya, "Apakah induk kunci
(gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"
"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi
Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik
laki-laki ataupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan
dapat naik sampai kehadirat Allah!"
Para pendeta Yahudi bertanya lagi, "Anak
kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?"
Ali bin Abi Thalib menjawab, "Anak kunci itu
ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasulullah!"
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara
mereka, sambil berkata, "Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih
lanjut, "Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat
berjalan bersama penghuninya!"
"Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang
menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali bin Abi Thalib. "Nabi
Yunus AS dibawa keliling ketujuh samudera!"
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya
lagi, "Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan
kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!"
Ali bin Abi Thalib menjawab, "Makhluk itu
ialah semut Nabi Sulaiman AS putera Nabi Dawud AS, Semut itu berkata kepada
kaumnya, 'Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak
diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak
sadar!"
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya,
"Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan diatas
permukaan bumi, tetapi tidak satu pun diantara makhluk-makhluk itu yang
dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!"
Ali bin Abi Thalib menjawab, "Lima makhluk
itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba
Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor
ular)."
Dua diantara tiga orang pendeta Yahudi itu
setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali
r.a. lalu mengatakan, "Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasulullah!"
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri
sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Hai Ali, hati teman-temanku
sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai
benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan
kepada anda."
"Tanyakanlah apa saja yang kau
inginkan," sahut Imam Ali.
"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah
orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan
kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta
tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab, "Hai pendeta
Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah
dikisahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan
kisah mereka itu."
Pendeta Yahudi itu menyahut, "Aku sudah
banyak mendengar tentang Qur'an kalian
itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama
ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama
gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!"
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya,
menekuk lutut kedepan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke
pinggang. Lalu ia berkata, "Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasulullah SAW
kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri
Romawi, disebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus.
Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah
Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak
di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja
yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh
seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak
dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan
akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota
kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana."
Baru sampai disitu, pendeta Yahudi yang bertanya
itu berdiri, terus bertanya, "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan
kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"
Ali bin Abi Thalib menerangkan, "Hai saudara
Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer.
Panjangnya satu farsakh (+/- 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh.
Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan
lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas.
Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap
malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Disebelah
timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula
di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam
selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas.
Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah
kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk.
Disebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk
para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas
singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala."
Sampai disitu pendeta yang bersangkutan berdiri
lagi sambil berkata, "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan
kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"
"Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali
menerangkan, "Mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas,
berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya
laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50
orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai
selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari
sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat
indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di
belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari
anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau
pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa
berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di
kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang
lainnya berdiri di sebelah kiri."
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi, lalu
berkata, "Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama
enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!"
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab,
"Kekasihku Muhammad Rasulullah SAW menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang
yang berdiri disebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina,
dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri,
masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding
dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana
dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan
menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian
murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang
yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini
kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang
berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung didalamnya dan setelah itu ia
mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan
ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan
suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang
berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung didalamnya, burung itu
mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam
piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi
isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja,
sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja
itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia
tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala,
sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja
merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia
mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi mengakui adanya
Allah SWT.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka
dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan
berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau
tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu
semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua
orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi
memuja dan menyembah Allah SWT.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja
sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba
masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk
menyerbu kedalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan
peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa
disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu
sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang
berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan
keadaan sang raja dengan sepenuh pikiran. Ia berpikir, lalu berkata di dalam
hati, "Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut
pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil
atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu
mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran.
Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya.
Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha
sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya, 'Hai Tamlikha,
mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?'
'Teman-teman,' sahut Tamlikha, 'hatiku sedang
dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum,
juga tidak ingin tidur.'
Teman-temannya mengejar, 'Apakah yang merisaukan
hatimu, hai Tamlikha?'
'Sudah lama aku memikirkan soal langit,' ujar
Tamlikha menjelaskan. 'Aku lalu bertanya pada diriku sendiri,'siapakah yang
mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa
gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang
menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu
dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian kupikirkan juga bumi ini,
'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang
menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan
tidak miring?' Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri, 'Siapakah yang
mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara
hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan
sudah tentu bukan Diqyanius'…"
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di
hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata, 'Hai Tamlikha dalam hati
kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu,
baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!'
'Saudara-saudara,' jawab Tamlikha, 'baik aku
maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang
dzalim itu, pergi kepada Raja Pencipta Langit dan Bumi!'
'Kami setuju dengan pendapatmu,' sahut
teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk
menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang
itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda
bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota,
Tamlikha berkata kepada teman-temannya, 'Saudara-saudara, kita sekarang sudah
terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari
kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan
kita serta memberikan jalan keluar. Mereka turun dari kudanya masing-masing.
Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena
tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut
mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya,'Hai penggembala, apakah engkau
mempunyai air minum atau susu?'
'Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,' sahut
penggembala itu. 'Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan.
Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku
bagaimana cerita perjalanan kalian itu!'
'Ah…, susahnya orang ini,' jawab mereka. 'Kami
sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat
jika kami mengatakan yang sebenarnya?' 'Ya,' jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan
semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu
segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia
berkata, 'Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati
kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan
kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi
kepada kalian.'
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti.
Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya.
Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing
miliknya."
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta
Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata, "Hai Ali, jika
engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah
namanya?"
"Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi
Thalib, "Anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika
enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata
kepada temannya, kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar
rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja
dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan
teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan
mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali, 'Hai orang-orang, mengapa
kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah,
tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan
dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah SWT.'
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu
pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama
mereka mendekati sebuah gua."
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun
lagi dari tempat duduknya sambil berkata, "Apakah nama gunung itu dan
apakah nama gua itu?"
Imam Ali menjelaskan, "Gunung itu bernama
Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau disebut juga dengan nama
Kheram!"
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya,
"Secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur
mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di
tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua.
Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga duduk sambil
menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah
SWT memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada
masing-masing orang dari mereka Allah SWT mewakilkan dua Malaikat untuk
membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan
matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari
arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan
mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja
selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat
jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama
80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang
pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia
melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring
di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu
benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata, 'Kalau aku
hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari
perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua.
Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!'
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka
diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam
semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya,
"Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka
itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit,
agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.,
Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal
selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lewat, Allah
SWT mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan
sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang
seorang berkata kepada yang lainnya, 'Malam tadi kami lupa beribadah kepada
Allah, mari kita pergi ke mata air!'
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba
mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun
sudah menjadi kering semuanya. Allah SWT membuat mereka mulai merasa lapar.
Mereka saling bertanya, 'Siapakah diantara kita ini yang sanggup dan bersedia
berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan
pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang
dimasak dengan lemak-babi.'
Tamlikha kemudian berkata, 'Hai saudara-saudara,
aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala,
berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!'
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia
berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama
sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah
diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau
berkibar di angkasa bertuliskan, 'Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh
Allah.'
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu
sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri, 'Kusangka aku ini masih
tidur!' Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan
perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia
berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah
pasar ia bertanya kepada seorang penjaja rot, 'Hai tukang roti, apakah nama
kota kalian ini?' 'Aphesus,' sahut penjual roti itu.
'Siapakah nama raja kalian?' tanya Tamlikha lagi.
'Abdurrahman,' jawab penjual roti.
'Kalau yang kau katakan itu benar,' kata
Tamlikha, 'urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah
makanan kepadaku!'
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan.
Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih
besar dan lebih berat."
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri
lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Hai Ali, kalau benar-benar
engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding
dengan uang baru!"
Imam Ali menerangkan, "Uang yang dibawa oleh
Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh
dan dua pertiga dirham baru!"
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya,
"Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha, 'Aduhai, alangkah beruntungnya
aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku!
Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!'
'Aku tidak menemukan harta karun,' sangkal
Tamlikha. 'Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah
kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang
semuanya menyembah Diqyanius!'
Penjual roti itu marah. Lalu berkata, 'Apakah
setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa
uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja
durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari
300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?'
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi
menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berpikir dan bersikap
adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha, 'Bagaimana cerita
tentang orang ini?' 'Dia menemukan harta karun,' jawab orang-orang yang
membawanya.
Kepada Tamlikha, Raja berkata, 'Engkau tak perlu
takut! Nabi Isa AS memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari
harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya
engkau akan selamat.'
Tamlikha menjawab, 'Baginda, aku sama sekali
tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!'
Raja bertanya sambil keheran-heranan, 'Engkau
penduduk kota ini?' 'Ya. Benar,' sahut Tamlikha.
'Adakah orang yang kau kenal?' tanya raja lagi.
'Ya, ada,' jawab Tamlikha.
'Coba sebutkan siapa namanya,' perintah raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama
pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka
berkata. 'Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita
sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?'
'Ya, tuanku,' jawab Tamlikha. 'Utuslah seorang
menyertai aku!'
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang
menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah
yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada
orang yang mengantarkan, 'Inilah rumahku!'
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang
lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah
sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua.
Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang, 'Kalian
ada perlu apa?'
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut,
'Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!'
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha.
Sambil mengamat-amati ia bertanya, 'Siapa namamu?' 'Aku Tamlikha anak
Filistin!'
Orang tua itu lalu berkata, 'Coba ulangi lagi!'
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan
kaki Tamlikha sambil berucap. 'Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang
diantara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka."
Kemudian diteruskannya dengan suara haru, 'Ia lari berlindung kepada Yang Maha
Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS, dahulu telah
memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan
hidup kembali!'
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu
kemudian dilaporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang
menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah
melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke
atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki
Tamlikha sambil bertanya-tanya, 'Hai Tamlikha, bagaimana keadaan
teman-temanmu?'
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua
temannya masih berada di dalam gua.
Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang
bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama
Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi
membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.
"Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada
di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang
bangsawan dan para pengikut mereka, 'Aku khawatir kalau sampai teman-temanku
mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga
Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti
saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!'
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk
seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri
kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata,
'Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!'
Tamlikha menukas, 'Ada urusan apa dengan
Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?'
'Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,'
jawab mereka.
'Tidak!' sangkal Tamlikha. 'Kalian sudah tinggal
di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi
generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada
Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!'
Teman-teman Tamlikha menyahut, 'Hai Tamlikha,
apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh
jagad?' 'Lantas apa yang kalian inginkan?' Tamlikha balik bertanya.
'Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan
berbuat seperti itu juga,' jawab mereka. Mereka bertujuh semua mengangkat
tangan ke atas, kemudian berdoa, 'Ya Allah, dengan kebenaran yang telah
Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang
ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!'
Allah SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu
memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT
melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu
segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari
pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk
lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin
tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah SWT. Dua orang bangsawan itu memandang
semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang
diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata,
'Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat
ibadah di pintu gua itu.'
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata
pula, 'Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara
di pintu gua itu.'
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah
melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh
bangsawan yang beragama Islam."
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti
menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi
yang menanyakan kisah itu, "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi
dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah
semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat
kalian?"
Pendeta Yahudi itu menjawab, "Ya Abal Hasan,
engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang
engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi
bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta
Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di
kalangan umat ini!"
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua
(Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab
Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al
Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang
diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar